Minggu, 13 Desember 2009

karya ilmiah

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Dimensi positif globalisasi ekonomi terhadap perindustrian dan perdagangan nasional telah mendorong dihasilkannya berbagai variasi barang atau jasa yang dapat dikonsumsi. Kondisi ini memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Bahkan kebebasan konsumen untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen semakin terbuka (consumer sovereignty). Disisi lain, kondisi dan fenomena diatas berpotensi untuk menciptakan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen berada pada posisi yang lemah dan sering dijadikan sebagai objek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terkait perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, sebagaimana diatur oleh Pasal 10 UU No. 8 Tahun 1999. Pasal ini menegaskan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif suatu barang dan atau jasa, kegunaan suatu barang dan atau jasa, kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan dan bahaya penggunaan barang dan atau jasa. Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekadar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih komplek dari itu yaitu menyangkut pada penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai (reasonable). Begitu juga Pemerintah memerlukan Undang-Undang serta peraturan-peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta Undang-Undang tersebut dengan baik. Kesadaran konsumen harus mempunyai perlindungan yang lebih akan hak-hak yang mereka punyai sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah.
Upaya perlindungan konsumen di Indonesia yang selama ini dianggap kurang diperhatikan, salah satu contoh persoalan banyak promosi produk dari makanan impor seperti Oreo Stick Wafer, nomor registrasi ML 227109001450 dan ML 827109001450 dan Oreo Chocolate Sandwich Cookie, nomor registrasi ML 227109001552 yang mengandung bahan-bahan bermelamin yang berlabel BPOM yang ditarik dari peredaran karena membahayakan kesehatan dan keamanan pangan. Dalam hal ini ada Undang-undang perlindungan konsumen sebenarnya mampu memproteksi dari segi pertanggungjawaban importir sebagai pembuat barang yang diimpor tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri tersebut dari impor maka yang bertanggungjawab adalah pihak importir (Pasal 21 UU No. 8 Tahun 1999) namun mekanisme penegakan hukum dari perlindungan konsumen belum maksimal baik pihak produsen baik peran serta pihak produsen, penyalur dan penjual kadang tidak mengindahkan ketentuan hukum perlindungan konsumen. Demikian pula pemerintah dalam banyak hal terlambat mengantisipasi pelanggar-pelanggar hukum berupa penjualan makanan yang mengandung bahan melamin yang dapat membahayakan kesehatan.
Untuk melindungi masyarakat dari mengkonsumsi produk pangan impor yang tidak memenuhi syarat baik dari sisi legalitas maupun mutu, keamanan dan gizi pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pengawasan secara pre market dan post market. Pertama, pengawasan secara pre market adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pangan beredar yaitu dengan mewajibkan setiap pangan yang beredar di wilayah Indonesia didaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan pasal 42 ayat 1 yaitu dalam rangka pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan, setiap pangan olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran. Masih terkait dengan peraturan yang tersebut diatas, ada beberapa kategori pangan yang dikecualikan dari wajib daftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Kedua, Aspek-aspek yang dinilai dalam proses pendaftaran pangan antara lain kelengkapan administratif (Surat Ijin Industri untuk industri dalam negeri, Sertifikat Kesehatan atau Sertifikat Bebas Jual yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negara asal untuk importir), kelengkapan teknis seperti bahan baku yang digunakan terutama untuk bahan tambahan pangan seperti pengawet, pemanis buatan, pewarna dan antioksidan, higiene dan sanitasi dari sarana produksi yang bersangkutan, hasil analisa produk dari laboratorium yang terakreditasi dan label produk. Surat persetujuan pendaftaran yang dimiliki oleh suatu produk pangan berlaku selama lima (5) tahun, selanjutnya produk tersebut harus didaftarkan kembali ke Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui Direktorat Penilaian Keamanan Pangan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00 / 05.1.2569 tahun 2004 tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian produk Pangan pasal 21.
Pengawasan secara pre market diatas, Badan Pengawas Obat dan Makanan juga melakukan pengawasan secara post market. Prinsip dasar pengawasan yang dilakukan tiga lapis meliputi produsen, pemerintah dan masyarakat. Pengawasan pertama dilakukan oleh produsen sebagai penghasil produk pangan. Produsen harus menjamin dan bertanggung jawab terhadap produk pangan yang dihasilkan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah mengatur hal ini antara lain Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 21 ayat 3 yang menyatakan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan juga menekankan pentingnya menjamin keamanan pangan yang beredar yaitu pada pasal 36 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dan peraturannya dan pasal 38 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan bertanggung jawab atas keamanan, mutu dan gizi pangan. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pun menekankan tanggung jawab produsen sebagai pelaku usaha. Hal ini dijelaskan pada pasal 7 (d) yaitu kewajiban pelaku usaha yaitu menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku dan pasal 8 ayat 2 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Selain undang-undang, ada pula peraturan pemerintah yang mengatur hal tersebut antara lain Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan pasal 39 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan bertanggung jawab atas keamanan, mutu dan gizi pangan. Disebutkan pula dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00 / 05.1.2569 tahun 2004 tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan pasal 7 bahwa produsen, importir dan atau distributor wajib menjamin keamanan, mutu dan gizi serta label pangan yang diedarkan sesuai dengan informasi yang diajukan dalam rangka pendaftaran yang telah disetujui oleh Kepala Badan.

Dengan permasalahan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan khususnya mengenai perlindungan konsumen terhadap produk makanan impor yang berlabel BPOM dapat memberikan jaminan produk makanan sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan penanganan yang efektif.

1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan agar didapat suatu hasil dengan perumusan masalah dikaji akan menjadi penting bagi penulis maka harus menarik beberapa rumusan permasalahan.
1. Bagaimana perlindungan konsumen produk dari impor yang berlabel Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang membahayakan dan merugikan konsumen ?
2. Bagaimana penanganan terhadap kerugian produk makanan impor yang ditimbulkan oleh importir, produsen maupun agen kepada konsumen ?

1.3. Tujuan Penelitian
1. Memahami dan menganalisa perlindungan konsumen terhadap produk makanan impor dengan label BPOM sehingga dapat mengetahui, apakah hukum positif Indonesia sudah mampu memberikan jaminan hukum terkait perlindungan konsumen.
2. Untuk mengetahui kendala baik aspek yuridis dalam menanggulangi produk makanan impor yang membahayakan konsumen, sekaligus implementasi perlindungan hukum terkait pada proses penegakan hukumnya.
3. Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.

1.4. Manfaat Penelitian
Dalam kontek dalam analisa mengenai perlindungan terhadap tindak pidana mayantara dimaksudkan hasil penulisan dapat memberikan kontribusi kepada berbagai bidang antara lain:
1. Bagi Civitas Akademik
a Sarana untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai aturan-aturan khususnya terkait dengan perlindungan konsumen baik produk makanan dan minuman yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
b Meningkatkan wawasan secara khusus mengenai aspek-aspek perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk makanan baik secara yuridis maupun implementasi perlindungan bagi konsumen.

2. Bagi Masyarakat
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam langkah memproteksi dan lebih mengetahui akan hak-haknya sebagai konsumen untuk selektif dalam memilih produk-produk makanan yang akan dikonsumsi.

3. Bagi Pemerintah (Aparatur Pelaksana Negara)
Dapat dijadikan kajian ilmiah baik subtansi analisa yuridis tentang kelemahan-kelemahan secara yuridis dan implementasi penanganan dapat dilakukan melalui pengawasan terhadap produk makanan yang beredar di masyarakat, penyelesaian sengketa baik melalui litigasi maupun non litigasi dan pemberian sanksi terhadap pelaku usaha.

1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan statue approach adalah pendekatan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen serta pendekatan casse approach yaitu pendekatan analisa kasus berdasarkan landasan yuridis berkaitan produk pangan impor produk dari makanan impor seperti Oreo Stick Wafer, nomor registrasi ML 227109001450 dan ML 827109001450 dan Oreo Chocolate Sandwich Cookie, nomor registrasi ML 227109001552 yang mengandung bahan-bahan bermelamin yang berlabel BPOM yang ditarik dari peredaran karena membahayakan kesehatan dan keamanan pangan.




1.5.2. Bahan hukum
Sumber bahan hukum yang diperoleh dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yakni diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Bahan hukum primer tersebut antara lain:
1. Undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.
4. Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
7. Keputusan Presiden nomor 90 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 634 / MPP / Kep / 9 / 2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan atau Jasa yang beredar di Pasar.
9. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan Pangan, Mutu dan Gizi Pangan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan baku primer berupa buku-buku literatur, serta sumber-sumber lain yang didapat dari website, internet, mengenai bentuk-bentuk perlindungan konsumen.

1.5.3. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan dan pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan inventarisasi, klasifikasi, dan sistematis. Invetarisasi adalah pengumpulan beberapa bahan-bahan hukum baik perundang-undangan ataupun literatur lainnya yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Klasifikasi adalah penggolongan, pembagian (menurut) kelas bahan-bahan yang dikumpulkan. Sedangkan sistematis adalah pengaturan setelah selesai inventarisasi, klasifikasi kemudian diolah secara sistematis. Kemudian bahan tersebut dianalisa dengan mensikronisasi dengan permasalahan yang ada terkait perlindungan konsumen.
1.5.4. Analisis Bahan hukum
Bahan hukum primer dan sekunder dikaji secara bertahap sesuai dengan pengelompokan permasalahan. Analisis dilakukan dan dituangkan dalam bentuk deskriptif (deskriptif-analitik) yang didalamnya terkandung kegiatan yang sifatnya memaparkan, menelaah, mensistematika, menafsirkan, dan mengevaluasi. Dari deskriptif itu selanjutnya dapat ditarik prinsip hukum mengenai waralaba terkait sehingga dapat diproyeksikan terhadap hukum positif dengan standarisasi perlindungan konsumen di Indonesia.

1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika disusun berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka disusun pembahasan skripsi ini dibagi dalam empat bab, dengan uraian sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan memaparkan tentang latar belakang masalah yang menjadi alasan penting penelitian ini dilakukan. kemudian dilanjutkan merumuskan isu-isu hukum sebagai titik tolak penelitian. Agar penelitian ini mencapai sasaran yang diinginkan, maka ditetapkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini. Untuk memasuki pembahasan terlebih dahulu dikemukakan kajian pustaka berkaitan dengan judul. Dengan langkah-langkah tersebut, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga orang lain dapat menelusuri langkah-langkah penelitian ini. Bagian akhir adalah pertanggungjawaban sistematika penulisan.
Bab II mengenai Tinjauan Pustaka yang membahas definisi perlindungan konsumen yang hak-hak konsumen, tanggung jawab produsen atau pelaku usaha mengenai larangan sebagai perilaku produsen yang sesuai dengan perundang-undangan yang ada, Klasifikasi peristiwa yang menimbulkan kerugian pada konsumen, sekaligus mengulas prinsip-prinsip yang terkandung dalam perlindungan konsumen baik Strict Liability (tanggung jawab mutlak) atau Risk Liability (tanggung jawab resiko) dalam upaya pertanggungjawaban produsen.
Bab III mengulas tentang perlindungan konsumen apabila produk dari impor yang berlabel Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat membahayakan dan merugikan konsumen sekaligus disinkronisasi pola penanganan terhadap kerugian produk makanan impor yang ditimbulkan oleh impotir, produsen maupun agen kepada konsumen.
Bab IV merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan Bab II, Bab III serta saran.




BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Perlindungan Konsumen
Sebelum masuk dalam definisi perlindungan konsumen harus mengenal istilah-istilah yang dinamakan konsumen, pelaku usaha atau produsen, pelaku usaha periklanan. Menurut Az. Nasution konsumen dibagi 3 (tiga) pengertian:
1. Konsumen dalam arti umum pemakai, pengguna atau pemanfaat barang atau jasa untuk tujuan tertentu.
2. Konsumen antara yaitu pemakai, pengguna dan atau pemanfaat barang atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang atau jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial.
3. Konsumen akhir yaitu pemakai, pengguna dan atau pemanfaat barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak diperdagangkan kembali.

Sedangkan istilah pelaku usaha dikelompokan juga 3 (tiga) dalam perlindungan konsumen yaitu:
1. Kalangan investor adalah pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan.
2. Produsen yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan atau jasa mulai (bahan baku, bahan tambahan). Mereka terdiri dari orang atau badan usaha terkait dengan pangan, sandang, perumahan, jasa angkutan, perasuransian, perbankan, obat-obatan sampai kesehatan.
3. Distributor yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan atau jasa kepada masyarakat seperti pedagang kali lima, supermarket, hypermarket, rumah sakit, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara.

Pelaku usaha dalam bidang periklanan dibagi 3 (tiga) dalam perlindungan konsumen antara lain:
1. Periklanan yaitu badan usaha yang memesan iklan dan membayar biaya pembuatannya untuk promosi atau pemasaran produknya sekaligus menyampaikan pesan-pesan berbagai informasi tentang produknya pada perusahaan periklanan.
2. Perusahaan periklanan yaitu perusahaan atau biro iklan yang merancang, membuat atau menciptakan iklan berdasarkan pesan atau informasi yang disampaikan pengiklan.
3. Media periklanan yaitu media non elektronik (koran, majalah, pamflet, poster) atau media elektronik (televisi, radio, internet) digunakan untuk menayangkan hasil iklan-iklan.

Hukum perlindungan konsumen menurut Az. Nasution merupakan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang atau jasa konsumen. Menurut Schrans hukum perlindungan konsumen ditinjau dari hukum ekonomi menurut terdapat perlindungan berbagai aspek:
1. Dasar-dasar hukum ekonomi (de juridishe grondslagen van het economich recht) yang menyangkut asas-asas pasaran bebas, kaidah-kaidah mengenai hak milik dan kontrak, serta kaidah-kaidah mengenai pertanggungjawaban.
2. Kedudukan pelaku-pelaku dibidang ekonomi (het statuut van de economic agenten) kaidah-kaidah mengenai perusahaan swasta maupun perusahaan negara, perusahaan nasional maupun asing.
3. Kaidah-kaidah hukum ekonomi secara khusus memperhatikan kepentingan umum (het economicsh ordenings recht) kaidah-kaidah yang mencegah persaingan tidak sehat, kaidah anti trust, perlindungan terhadap hak-hak konsumen.
4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi yang mendukung kebijaksanaan ekonomi pemerintah.
5. Kaidah-kaidah yang mengarah kehidupan perekonomian (het economicsh doelmatigheids recht):
a Kebijaksanaan kongjugtur (harga-harga, peredaran uang, pengawasan terhadap kredit, perdagangan internasional, penjualan barang dan jasa kepada negara, fiskal).
b Kebijaksanaan mengenai struktur ekonomi seperti keputusan Dewan Stabilitas Ekonomi mengenai perlindungan golongan ekonomi lemah, asuransi tentang kerja).
c Penegakan hukum ekonomi (sanksi-sanksi, hak dan kewajiban antara produsen dengan konsumen).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Dalam menjalankan usaha undang-undang perlindungan konsumen mengatur sejumlah hak dan membebankan kewajiban dan larangan untuk menciptakan hubungan yang sehat dan kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada umumnya. Sesuai yang tercantum dalam Pasal 4 tentang Hak dan kewajiban konsumen sebagai berikut:
1. Hak konsumen yang mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum yaitu:
a Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;
b Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa;
d Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan;
e Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Apabila terpenuhi jaminan hukum mengenai hak konsumen maka diharuskan sesuai dengan kewajiban konsumen untuk pemenuhan itikad baik konsumen agar dapat mempermudah pertanggungjawaban produsen untuk bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dengan beberapa proses:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Untuk mempertegas terwujudnya perlindungan konsumen dapat dipertegas dengan pelaksanaan kewajiban produsen atau pelaku usaha. Ada 2 (dua) macam kepentingan larangan tersebut dilakukan. Pertama, kepentingan umum artinya bertanggungjawab untuk menciptakan iklim berusaha baik antara sesama pelaku usaha antara pelaku usaha dengan masyarakat. Dengan dipatuhinya larangan-larangan yang dapat memproteksi timbulnya distorsi pasar, persaingan tidak sehat atau hal-hal lain yang merusak struktur kehidupan perekonomian nasional. Kedua, kepentingan individu artinya bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat baik sendiri-sendiri maupun keseluruhan timbulnya kerugian diri konsumen maupun harta bendanya. Didalam Pasal 6 Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen memuat:
1. Hak pelaku usaha untuk melakukan jaminan dan perlindungan hukum baik barang maupun jasa yang berkaitan dengan kepentingan konsumen:
a Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
b Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
e Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban produsen (pelaku usaha) menurut Pasal 7 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen:
2. Kewajiban pelaku usaha adalah:
a Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku;
e Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan;
f Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
g Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen memberikan definisi Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Untuk memproteksi keseimbangan antara produsen dengan konsumen seharusnya produsen memiliki standarisasi mengenai berproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa, memasarkan, sekaligus larangan secara khusus ditujukan oleh pelaku periklanan dan larangan sehubungan dengan pelanggaran khusus mengenai mekanisme pelaku usaha dalam memasarkan produk barang maupun jasa:

1. Larangan Sehubungan Dengan Berproduksi Dan Memperdagangkan Barang Dan Jasa Yang Tercantum Dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen:
a Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan persyaratan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
c Tidak sesuai dengan takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d Tidak sesuai dengan kondisi jaminan, keistimewaan atau kemanjuran yang sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan atau jasa.
e Tidak sesuai mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label keterangan barang dan atau jasa tersebut.
f Tidak sesuai dengan janji-janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut.
g Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang baik atas barang tertentu.
h Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan ”halal” yang dicantumkan dalam label.
i Tidak memasangkan label atau memuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan yang dibuat.
j Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dipertegas ayat 2 sampai 4 bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud (ayat 2), dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan tanpa memberikan informasi secara lengkap (ayat 3) dan pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan 2 serta wajib menarik dari peredaran.

2. Larangan Proses Pemasaran Yang Tercantum Dalam Pasal 9 Sampai 16 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen:
1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah (Pasal 9 huruf a sampai k):
a Barang tersebut telah memenuhi dan atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b Barang tersebut dalam keadaan baik dan atau baru;
c Barang dan atau jasa tersebut telah mendapatkan dan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d Barang dan atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e Barang dan atau atau jasa tersebut tersedia;
f Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i Secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa lain;
j Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

2. Sedangkan Pasal 2 Barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan atau jasa tersebut.

2. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai (Pasal 10) memuat:
a Harga atau tarif suatu barang dan atau jasa;
b Kegunaan suatu barang dan atau jasa;
c Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa;
d Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e Bahaya penggunaan barang dan atau jasa.

3. Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui menyesatkan konsumen dengan cara sesuai dengan (Pasal 11) :
a Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f Menaikkan harga atau tarif barang dan atau jasa sebelum melakukan obral.

4. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan (Pasal 12).

5. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya (Pasal 13 ayat 1). Sedangkan ayat 2 bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau jasa lain.

6. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang sesuai (Pasal 14):
a Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
7. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen (Pasal 15).

8. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa melalui pesanan dilarang sesuai dengan (Pasal 16):
a Tidak menepati pesanan dan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan atau prestasi.

3. Larangan Secara Khusus Ditujukan Pelaku Periklanan Yang Terdapat Dalam (Pasal 17 Ayat 1 dan 2):
1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan sesuai 17 ayat 1:
a Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan atau jasa;
b Mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang dan atau jasa;
c Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan atau jasa;
d Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan atau jasa;
e Mengeksploitasi kejadian dan atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f Melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2. Sedangkan ayat 2 mengenai pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

4. Larangan Sehubungan Dengan Penggunaan Klausula Baku Dalam Standar Kontrak Yang Dibuat Pelaku Usaha:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian sesuai dengan (Pasal 18 ayat 1):
a Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Sedangkan Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti (sesuai Pasal 18 ayat 2).

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum (sesuai Pasal 18 ayat 3).

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini (sesuai 18 ayat 4).

2. Kualifikasi Peristiwa Yang Menimbulkan Kerugian Pada Konsumen.
Suatu peristiwa yang merugikan konsumen telah terjadi karena memakai atau mengkonsumsi suatu produk, apakah ada hubungan kontraktual antara produsen dan konsumen. Apabila ada hubungan kontraktual antara produsen dan konsumen maka dianalisa bagian-bagian dari kontrak perjanjian yang mugkin tidak dipenuhi sehingga menimbulkan kerugian yang dapat diklasifikasikan:



a Perbuatan Yang Merugikan Konsumen Sebagai Perbuatan Wanprestasi.
Untuk mencari langkah perlindungan konsumen yaitu dengan mencari atau mengumpulkan fakta-fakta saat kerugian itu terjadi dengan merekontruksikan menjadi kontrak atau perjanjian artinya mengetahui barang yang diproleh dengan cara jual beli kemudian diseleksi apakah sesuai barang serta harganya. Perihal tersebut untuk membedakannya dari kemungkinan kerugian timbul karena memakai atau mengkonsumsi barang yang seharusnya belum diedarkan tetapi dicuri dari gudang pabrik milik produsen dapat dibuktikan melalui faktur atau bon pembelian, saksi ataupun pengakuan.

b Perbuatan Yang Merugikan Konsumen Sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
Menentukan tanggung jawab produsen kepada konsumen yang menderita kerugian karena produk cacat maka pihak penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu perbuatan sehingga dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dapat dilakukan oleh pihak produsen dalam bentuk pelanggaran terhadap hak-hak konsumen atau bertentangan dengan kewajiban hukum itu sendiri, melanggar kesusilaan, atau bertentangan dengan kepatutan dalam menjalankan usahanya baik berproduksi dan mengedarkan produknya. Misalnya kasus keracunan produk makanan hal ini dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum maka harus dapat dibuktikan unsur-unsur melawan hukum dalam menjaga keselamatan kesehatan bahkan jiwa pihak konsumen.
Kelemahan dari perlindungan konsumen di Indonesia konsumen sebagai penggugat harus dapat membuktikan adanya kesalahan sebagai tergugat dalam hal terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian, apakah kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian dalam membuat atau memproduksi hingga memasarkan produknya. Pembuktian kerugian tersebut apakah merupakan akibat langssung dari cacat yang terkandung dalam produk makanan, hal tersebut berhubungan dengan hubungan kausalitas antara perbuatan yang salah dan kerugian yang timbul. Pembuktian dapat menggunakan pertanggungjawaban khusus sebagaimana pasal 1367 KUH Perdata bahwa seseorang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh barang yang berada dalam pengawasan, hal tersebut harus memuat:
1. Apakah tanggung jawab produk termasuk didalamnya atau tidak.
2. Apakah produk yang beredar dan menimbulkan kerugian itu masuk dalam kategori berada dalam pengawasan produsen.
3. Apakah yang menjadi dasar pertanggungjawaban kesalahan atau resiko.

Didalam pasal 1376 KUH Perdata dapat ditentukan sebagai dasar ketentuan tanggung jawab produk tetapi yang menjadi persoalan mengenai dasar pertanggungjawaban apakah kesalahan atau resiko sebab tidak disebutkan mengenai yang sebagaimana didalam pasal 1365 KUH Perdata.

3. Prinsip Strict Liability Principle (Prinsip Tanggungjawab Mutlak) Atau Risk Liability (Tanggung Jawab Resiko) Dalam Hal Pertanggung Jawaban Produsen.
Sampai sekarang ini Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tanggung jawab produsen (Product Liability) yang kaitannya dengan kepentingan konsumen Undang-undang No. 23 Tahun 1982 tentang Kesehatan. Seperti dikemukakan diatas, bahwa jika dilihat secara sepintas, nampak bahwa apa yang di atur dengan ketentuan Product Liability telah diatur pula dalam KUH Perdata kita. Hanya saja jika kita menggunakan KUH Perdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi. Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability Principle).
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen. Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (Strtict Liability) diterapkan dalam hukum tentang Product Liability adalah:
1. Diantara korban atau konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi atau mengeluarkan barang-barang cacat atau berbahaya tersebut di pasaran;
2. Dengan menempatkan atau mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab;
3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan Strict Liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.
Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan prinsip Strict Liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social Climate Theory:
1. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan Deep Pockets Theory.
2. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu proses Manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri) bagi seorang konsumen atau korban atau penggugat secara individual.

Dalam hukum tentang Product Liability, pihak korban atau konsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal:
1. Produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen;
2. Timbulnya cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian atau kecelakaan;
3. Adanya kerugian. Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban atau konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya tidak ada modifikasi-modifikasi).

Meskipun sistem tanggung jawab pada Product Liability berlaku prinsip Strict Liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah:
1. Jika produsen tidak mendengarkan produknya (Put Into Circulation);
2. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian;
3. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;
4. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;
5. Bahwa secara ilmiah dan teknis (State Of Scintific An Technical Knowledge, State Or Art Defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;
6. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut;
7. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (Contributory Negligence);
8. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau Force Majeur.

Dengan diberlakukannya prinsip Strict Liability diharapkan para produsen dan industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati dalam meproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen, baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksi Indonesia.
Namun demikian, dengan berlakunya prinsip Strict Liability dalam hukum tentang Product Liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti. Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (Product Liability) yang menganut prinsip tanggung mutlak (Strict Liability) dalam mengantisipasi kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.

4. Tanggung Jawab Produsen Sebagai Pelaku Usaha.
Dalam kasus diatas pertanggungjawaban masuk privat (dalam keperdataan) dalam pasal 21 UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang bertanggung jawab atas barang dan atau jasa importir adalah importirnya karena mereka bertanggung jawab sebagai pembuatnya. Kualifikasi peristiwa yang menimbulkan kerugian maka ada 2 (dua) macam yaitu prinsip Strict Liability (tanggung jawab mutlak) atau Risk Liability (tanggung jawab resiko) dalam hal menuntut pertanggungjawaban produsen. Persoalan yang tersisa dari penyelesaian sengketa konsumen, baik perbuatan wanprestasi maupun perbuatan melanggar hukum belum dapat melindungi kepentingan konsumen, karena pisisi konsumen lemah terutama keberhasilan gugatan ganti rugi yang mensyaratkan adanya pembuktian atau pembuktian lawan yang diajukan oleh lawan. Berkaitan dengan kedudukan konsumen dalam proses pembuktian keasalahan atau neglience-nya produsen tergugat karena tidak ada pengetahuan dan sarana yang memuaskan maka dengan cara ditempuh prinsip pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability). Prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan melangggar hukum tidak didasarkan kesalahan juga disebut juga Liability Without Fault.
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability) tidak mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak kesalahan, tetapi produsen langsung bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produknya yang cacat. Produsen dianggap harus bertanggungjawab apabila timbul kerugian karena konsumen mengkonsumsi suatu produk dan produsen harus membuktikan bahwa produsen tidak bersalah yaitu produsen melakukan produksi secara benar, melakukan langkah pengamanan yang wajib produsen ambil atau hal-hal lain yang berkaitan dengan duty of care. Di Indonesia Strict Liability (tanggung jawab mutlak, tanggung jawab resiko) secara implisit dapat diketemukan pasal 1367 dan 1368 KUH Perdata. Pasal 1367 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang berada dibawah pengawasannya pasal 1367 KUH Perdata dalam penafsiran kata-kata barang yang berada dibawah pengawasannya dipandang berdiri sendiri sebagai penyebab timbulnya kerugian, yang berarti tidak butuhkan adanya kesalahan pemilik barang.
Dengan menggunakan Strict Liability dalam bidang perlindungan konsumen khususnya tanggung jawab produk, akan memudahkan kepada pembuktian yang akhirnya memberi perlindungan pada konsumen. Alasan yang dijadikan konsep Strict Liability dalam perlindungan konsumen khususnya tanggung jawab produk adalah melihat pada tujuan dari perlindungan sendiri. Kata perlindungan mengandung arti memberikan kemudahann bagi konsumen untuk memepertahankan atau memperoleh apa yang menjadi haknya. Konsep pertanggungjawaban mutlak dalam perlindungan konsumen akan lebih mempertahankan atau memperoleh haknya jika dibandingkan dengan konsep kesalahan, dimana konsumen masih dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan produsen.





BAB 3
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK MAKANAN DARI IMPOR YANG BERLABEL BPOM

1. Analisa Produk yang Diproduksi dan Memperdagangkan Oreo Stick Wafer, Nomor Registrasi ML 227109001450 dan ML 827109001450 dan Oreo Chocolate Sandwich Cookie, Nomor Registrasi ML 227109001552 yang Mengandung Bahan-Bahan Bermelamin.
Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1969 tentang pangan dan sesuai Peraturan Pemerintah No.28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, diatur bahwa setiap pangan yang akan masuk dan beredar di Indonesia harus memenuhi keamanan, mutu dan gizi pangan yang dibuktikan dengan kelengkapan hasil uji dan pemeriksaan dari negara asal. Selain itu produk tersebut juga harus diuji dan diperiksa di Indonesia sebelum diedarkan dan memperoleh tanda pendaftaran ML yang diterbitkan oleh BPOM. Hal yang sama berlaku pula terhadap produk pangan hasil produksi dalam negeri yang harus diuji dan diperiksa oleh BPOM untuk memperoleh tanda pendaftaran MD yang artinya produk tersebut sudah layak diedarkan dan dikonsumsi. Setelah memperoleh keterangan pers tentang isu produk China yang mengandung melamin dan Menindaklanjuti Keterangan Pers No.: KH. 00.01.5.531 Tanggal 24 September 2008 tentang Isu Produk China yang Mengandung Melamin, Badan POM telah mengambil sampel Produk Impor Asal China yang mengandung susu dari sarana distribusi. Ditindaklanjuti keterangan pers berikutnya tentang kandungan melamin produk China yang mengandung susu No: KH. 00.01.5.533 Tanggal 27 september 2008.
Melamin adalah sebuah senyawa dimana melamin ini sebagai bahan dasar pembuat plastik, piring, dan gelas. Bahan yang dipakai untuk industri ini sangat tidak dianjurkan apabila dicampurkan dalam sebuah produk makanan ataupun minuman karena bahan melamin itu sangat berbahaya apabila kita konsumsi secara terus menerus karena nantinya akan berdampak pada kesehatan. Dampak atau efek yang ditimbulkan apabila kita mengkonsumsi produk ini bermelamin tersebut secara terus menerus dan berlebihan akan mengalami gangguan pada fungsi ginjal. Oreo Stick Wafer, nomor registrasi ML 227109001450 dan ML 827109001450 dan Oreo Chocolate Sandwich Cookie, nomor registrasi ML 227109001552 adalah buatan PT. Nabisco Food (Suzhou) Co. Ltd., China dan berada dibawah bendera PT. Kraft Indonesia.
Aspek perlindungan konsumen dapat dianalisa produk yang kepada pelaku usaha yaitu larangan sehubungan dengan berproduksi dan memperdagangkan produk makanan berasal dari impor antara lain:


1. Analisa Kasus Ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen:
a. Seharusnya pelaku usaha atau produsen baik dilakukan impotir PT. Nabisco Food (Suzhou) Co. Ltd., China dan berada dibawah bendera PT. Kraft Indonesia harus memenuhi hak konsumen sesuai pasal Pasal 4 huruf a bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa kenyamanan, keamanan, keselamatan. Perlindungan tersebut harus dikoordinasikan dengan pihak pemerintah yaitu Badan Perlindungan konsumen, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Perindustrian, Pelaku usaha atau produsen, Tenaga Ahli (Pihak Laboratorium makanan dan minuman yang menjamin hak konsumen dan sebagai menjalankan fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 huruf c yaitu melakukan penelitian terhadap barang dan atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
b. Dipertegas pada Pasal 7 huruf d: Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku, apabila terjadi kerugian terhadap konsumen yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa maka dipertegas dalam huruf f: Pelaku usaha memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
Usaha untuk melakukan pemulihan produk Oreo Stick Wafer, nomor registrasi ML 227109001450 dan ML 827109001450 dan Oreo Chocolate Sandwich Cookie, nomor registrasi ML 227109001552 yang memakai bendera PT. Kraft Indonesia akibat ditemukannya kandungan bahan melamin pada produk Oreo berkode ML (makanan diproduksi di luar negeri), secara tidak langsung membuat beberapa kerugian pada PT. Kraft Indonesia yang juga memproduksi Oreo dalam negeri. Langkah yang diambil yaitu dengan pendekatan public relation oleh PT. Kraft Indonesia untuk mengembalikan kepercayaan konsumen yang dilakukan sebagai berikut:
1. Menggunakan jasa orang ketiga ahli gizi atau orang yang bekerja dalam hal penelitian kandungan makanan atau minuman.
Dimana yang kita ketahui bahwa isu akan adanya kandungan berbahaya pada produk Oreo yang diproduksi di luar negeri mau tidak mau juga berimbas pada perusahaan dalam negeri yang juga sama-sama memproduksi Oreo. Pemberitaan yang begitu gencar dilakukan media massa mau tidak mau menyeret reputasi PT. Kraft Indonesia dimana yang juga memproduksi produk Oreo. Dalam awal kemunculan ditemukannya kandungan berbahaya pada sejumlah produk yang ditemukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada bulan September lalu, dalam pers conference tersebut telah diumumkan bahwa produk yang mengandung bahan berbahaya yaitu produk yang berlabel ML. Namun bagi masyarakat yang tidak mendengarkan atau menyimak informasi tersebut secara detail maka mereka beranggapan bahwa semua produk tersebut baik diproduksi oleh dalam negeri atau luar negeri beranggapan bahwa Oreo tidak aman apabila dikonsumsi. Menggunakan jasa orang ketiga sebagai cara yang harus kita tempuh untuk menguji produk yang telah produksi. Sehingga dari hasil laboratorium apa saja yang terkandung dalam makanan ini setelah melewati masa uji coba laboratorium akan terdeteksi dengan baik.
Hal ini perlu dilakukan dalam tahap awal karena pada tahap membuktikan bahwa produk Oreo yang diproduksi dalam negeri itu aman untuk dikonsumsi. Dengan hasil temuan pada laboratorium tersebut akan membuat kita berani untuk berbicara di depan umum dan memaparkan duduk permasalahan yang sedang di alami oleh perusahaan akibat imbas dari isu adanya bahan berbahaya dari produk yang mereka produksi. Dengan hasil lab yang secara jelas produk kita diuji dan menghasilkan hasil uji lab tersebut merupakan senjata yang ampuh untuk perusahaan PT. Kraft Indonesia untuk mengklarifikasi akan berita yang telah membuat produk Oreo produksi dalam negeri ditinggalkan dari konsumen. Adanya hasil laboratorium yang telah diuji oleh beberapa ahli dan para pakar gizi yang telah menyaksikannya akan proses uji lab atas makanan produk Oreo dalam negeri diharapkan akan menjadi manfaat yang sangat besar bagi perkembangan produk Oreo agar seperti pada kondisi yang stabil sebelum isu terkena imbas akan bahan berbahaya yang terkandung pada produk Oreo.

2. Mengadakan Press Conference atau Press Release.
Langkah kedua sebagai public relation dari PT. Kraft Indonesia yang memproduksi Oreo dalam negeri, dengan adanya hasil uji lab yang akurat dan kerjasama dengan para pakar ahli gizi maka memanggil rekan-rekan dari media untuk meliput press conference diadakan. Selain press conference juga akan mengirimkan press release kepada sejumlah media cetak di Indonesia beserta dokumen kopiannya dari hasil uji lab sebagai lampiran bahwa produk yang kami produksi memang aman untuk dikonsumsi bagi konsumen di Indonesia. Selain memberi akan hasil uji lab yang telah dilakukan oleh perusahaan, perusahaan memberikan edukasi atas bagaimana cara yang cermat saat membeli produk Oreo di pasaran, yaitu bagaimana membedakan produk Oreo yang berkode ML dengan produk Oreo yang diproduksi oleh PT. Kraft Indonesia. Dengan edukasi yang dilakukan melalui media ini diharapkan agar masyarakat bisa lebih selektif dalam membeli produk Oreo, selain itu menyakinkan bahwa produk Oreo merupakan masuk dalam daftar belanja para konsumen. Media sebagai sarana alat komunikasi yang efektif dalam menyebarkan informasi dari seorang public relation. Dalam permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan PT. Kraft Indonesia ini diharapkan agar masyarakat bisa mengetahui atau bisa meluruskan pandangannya yang salah kaprah mengenai produk Oreo dalam negeri. Dengan meluruskan pandangan yang selama ini salah kaprah diartikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia diharapkan bisa mengembalikan citra atau image perusahaan PT. Kraft Indonesia.

3. Mengganti iklan Oreo yang lama dengan yang baru.
Terimbasnya produk Oreo dalam negeri akan isu kandungan melamin yang telah ditemukan di produk Oreo berkode ML, tentunya membuat image atau citra produk Oreo dalam negeri menurun secara drastis, dengan menggunakan iklan yang dibuat sesederhana mungkin, dimana inti dari iklan tersebut menyampaikan pesan bahwa produk Oreo dalam negeri aman untuk dikonsumsi. Strategi iklan yang dipakai adalah menggunakan para ahli gizi yang ternama dimana dengan kemunculan ahli gizi dalam iklan Oreo yang baru ini diharapkan masyarakat tidak takut lagi apabila mengkonsumsi Oreo produksi dalam negeri. Diharapkan dengan iklan yang baru tersebut walaupun tidak menggunakan endoser sebagaimana mestinya, namun menggunakan pakar ahli gizi merupakan strategi yang paling pas saat ini untuk dilakukan agar citra atau image produk Oreo bisa kembali seperti semula.

4. Melakukan pendekatan dengan masyarakat atau konsumen dengan menciptakan kegiatan bertajuk “Bermain Siapa Takut” bersama Mr. Oreo.
Melakukan kegiatan dalam hal memperbaiki citra atau image dari PT. Kraft Indonesia maka langkah selanjutnya agar masyarakat merasa dekat dan diperhatikan oleh pihak perusahaan akan melakukan kegiatan di berbagai kota besar di Indonesia dengan tajuk “Bermain Siapa Takut” bersama Mr. Oreo. Dimana dalam kegiatan ini akan menggunakan keluarga beserta para anak-anaknya untuk bermain bersama di dalam kegiatan yang telah buat ini. Tujuan dari acara kegiatan ini adalah ingin mendekatkan kembali kepada masyarakat Indonesia dan disinilah waktu yang tepat agar tercipta benak dalam konsumen bahwa Oreo adalah makanan ringan bagi keluarga. Selain menciptakan image yang baru agar terlepas dengan isu yang lama akan kandungan bahan berbahaya, maka dengan acara kegiatan ini dimaksudkan bahwa dengan program kegiatan ini dapat memperoleh informasi kandungan di setiap produk makanan yang dibelinya atau mengetahui kode produk yang harus diwaspadai jaminan mutu pangan dan kandungan pembuatan produknya.

2. Analisa Kasus Ditinjau dari Undang-Undang No. 7 Th 1996 Tentang Pangan:
a Bahwa produk makanan harus mempunyai standar Keamanan Pangan (Pasal 1 angka 4) , Mutu Pangan (Pasal 1 angka 13), Gizi Pangan (Pasal 1 angka 14). Pasal 1 ayat (4): kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia pangan dari kemungkinan biologis, kimia, mengganggu, merugikan, manusia atau konsumen. Pasal 1 angak 13 mengenai mutu pangan memuat nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman. Sedangkan Pasal 1 angka 14 mengenai kandungan terkandung dalam bahan makanan yang harus terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunannya bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.

b Untuk memproteksi perlindungan pangan maka seharusnya dilakukan pemeriksaan produk pangan untuk menjamin mutu pangan yang diproduksi oleh pelaku usaha atau produsen sesuai dengan Pasal 20 angka 1 bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. Untuk menetapkan produk makan tersebut layak dikonsumsi maka pemerintah dapat menetapkan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara laboratorium yang ditunjuk dan terakreditasi pemerintah dan dapat dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kebutuhan pangan (tercantum Pasal 20 angka 2 sampai 4).

c Dipertegas dengan Pasal 10 ayat (1): Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan. Dipertegas lagi Pasal 21 huruf a: Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia beracun, berbahaya.

d Memberikan informasi pelabelan dari produk makanan atau lainnya harus dicermati agar pertanggungjawaban secara hukum dapat diberlakukan sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 huruf d yang mencantumkan nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia. Contoh kode yang terdapat label produk:
1. ML adalah kode registrasi pendaftaran untuk untuk pangan impor;
2. MD adalah kode registrasi pendaftaran untuk hasil produksi dalam negeri;
3. SP atau P-IRT adalah kode registrasi pendaftaran untuk pangan industri rumah tangga;
4. OL adalah kode registrasi untuk obat impor;
5. OD adalah kode registrasi untuk obat hasil produksi dalam negeri;
6. CL adalah kode registrasi untuk kosmetik impor;
7. CD adalah kode registrasi untuk kosmetik produksi dalam negeri.

3. Analisa Kasus Ditinjau dari Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Dapat dilakukan pola pengamanan makanan dan minuman untuk menjamin perlindungan konsumen yang tercantum dalam Pasal 21 angka 1 dapat diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan. Dipertegas angka 2 dengan pengemasan produk makanan atau minuman dengan bentuk label yang memuat:
a Bahan yang dipakai;
b Komposisi setiap bahan;
c Tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa;
d Ketentuan lainnya maksudnya bahan tambahan dari komposisi yang ada dalam produk makanan atau minuman.
Apabila Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai angka 3).

4. Problematika Keamanan Pangan Secara Umum Di Indonesia Sehingga Tidak Terjaminnya Perlindungan Konsumen Seperti:
1. Masih ditemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan;
2. Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan;
3. Masih rendahnya tanggung jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang diproduksi atau diperdagangkannya;
4. Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan konsumen terhadap keamanan pangan.

Ada empat masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional yang berpengaruh terhadap perdagangan pangan baik domestik maupun global menurut yaitu:
1. Produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan pangan:
a Penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas dalam produk pangan;
b Ditemukan cemaran kimia berbahaya (pestisida, logam berat, obat-obat pertanian) pada berbagai produk pangan;
c Cemaran mikroba yang tinggi dan cemaran mikroba patogen pada berbagai produk pangan;
d Pelabelan dan periklanan produk pangan yang tidak memenuhi syarat;
e Masih beredarnya produk pangan kadaluwarsa, termasuk produk impor;
f Pemalsuan produk pangan;
g Cara peredaran dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi syarat dan Mutu dan keamanan produk pangan belum dapat bersaing di pasar Internasional.

2. Masih banyak terjadi kasus keracunan makanan yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya.
3. Masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor) tentang mutu dan keamanan pangan, yang ditandai dengan ditemukannya sarana produk dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan (GAP, GHP, GMP, GDP, dan GRP), terutama pada industri kecil atau rumah tangga.
4. Rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan yang terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih membeli produk pangan dengan tingkat mutu dan keamanan yang rendah.

5. Tanggung Jawab Bersama dalam Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan.
Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan. Keterlibatan dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen dalam pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.

6. Implementasi Sistem Mutu Dan Keamanan Pangan Dapat Dilakukan Pihak Pemerintah, Pelaku Usaha Atau Produsen, dan Konsumen.
1. Pelaksanaan pemerintah yang dilakukan untuk menjamin perlindungan konsumen dapat dilakukan sebagai berikut:
a Pengawasan dan law enforcement (penegakan hukumnya) baik berupa inspeksi produk makanan, penerapan sanksi pidana, perdata, maupun administrasi.
b Pengumpulan informasi dan pengembangan penelitian terkait laporan masyarakat dan penetapan yang harus dilaksanakan pihak pelaku usaha atau produsen dengan pengujian produk makanan dan minuman di laboratorium sebelum diperdagangkan atau dikonsumsi oleh konsumen.
c Harus ada pos pelayanan pengaduan di setiap pihak, baik pihak produksi maupun pemerintah sehingga dapat menilai sejauh mana tingkat perlindungan konsumen di Indonesia.
2. Pelaksanaan pelaku usaha atau produsen (Industri bahan baku, Pengolahan, Distributor, Pengecer) untuk menjamin perlindungan konsumen dapat dilakukan sebagai berikut:
a Penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan (GAP atau GFP, GHP, GMP, GDP, GR, HACCP, ISO 9000, ISO 14000).
b Pengawasan mutu dan keamanan produk dari pihak produsen sendiri dalam menjamin kepercayaan masyarakat dalam pembelian produk makanan dan minuman yang diproduksinya.
c Penerapan teknologi yang tepat (aman, ramah lingkungan).
d Pengembangan Sumber Daya Manusia (Manager, Supervisor, sampai pekerja pengolah pangan) dalam mengelola, memproduksi, sampai memasarkan produknya.
3. Pelaksanaan masyarakat sebagai pelaku usaha atau produsen maupun konsumen agar terjamin hak-hak konsumen yang dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Pengembangan SDM (pelatihan, penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen) tentang keamanan pangan.
b. Praktek penanganan dan pengolahan pangan yang baik (GCP).
c. Partisipasi dan kepedulian masyarakat tentang mutu dan keamanan pangan Kebijakan Nasional tentang Mutu dan Keamanan Pangan telah disusun secara lintas sektoral dengan melibatkan berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan.

7. Perlindungan Mengenai Mutu Dan Keamanan Pangan Nasional Dapat Dilakukan Oleh Negara Dengan Menjalankan Konsep Perlindungan Sebagai Berikut:
1. Meningkatkan mutu dan keamanan pangan melalui penelitian dan pengembangan, pengembangan peraturan perundang-undangan serta kelembagaan.
2. Meningkatkan mutu gizi pangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat.
3. Memberikan jaminan bahwa pangan sebagai bahan baku industri maupun konsumsi, bebas dari kontaminasi bahan kimia, biologi dan toksin, serta tidak bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat.
4. Menerapkan secara terpadu sistem jaminan mutu dan keamanan pangan sejak pra produksi, selama proses produksi sampai konsumen baik dalam pembinaan maupun pengawasan melalui Program Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional.
5. Meningkatkan pengawasan melekat atau mandiri (self regulatory control) pada produsen, konsumen, pengolah, pedagang, serta pembina dan pengawas mutu dalam melaksanakan jaminan mutu dan keamanan pangan.
6. Melarang memperdagangkan (ekspor dan impor) pangan yang melanggar ketentuan yang secara internasional telah disepakati bersama.
7. Melaksanakan sertifikasi dan menerbitkan sertifikat mutu produk pangan yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produsen, eksportir dan eksportir produsen yang telah mampu menerapkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan.
8. Menjaga standar mutu yang tinggi dalam setiap aspek kinerja pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan secara terpadu.
9. Melaksanakan pemasyarakatan Program Mutu dan keamanan Pangan Nasional.
10. Pengembangkan sumber daya manusia pembinaan dan pengawasan mutu pangan melalui pendidikan dan latihan.

8. Penanganan Terhadap Kerugian Produk Makanan Yang Ditimbulkan Oleh Importir, Produsen Maupun Agen Kepada Konsumen.
1. Penanganan Terhadap Kerugian Produk Makanan Dapat Dilakukan Dengan Pertanggungjawaban Ditinjau Dari Hukum Perdata
Didalam hukum perdata dasar pertanggungjawaban ada 2 (dua) macam yaitu kesalahan dan resiko. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggungjawab karena telah bersalah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Prinsip pertanggungjawaban dianut dalam penuntutan ganti rugi atau pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUH Perdata. Dalam hal ini penggugat (konsumen) harus dapat membuktikan kesalahan (pelaku usaha atau produsen) berupa kesengajaan maupun kelalaian.
Pasal 1365 KUH Perdata ataupun Pasal 1367 KUH Perdata mensyaratkan 4 (empat) harus dibuktikan yaitu adanya perbuatan melanggar hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian, adanya hubungan kausal antara perbuatan yang salah dengan kerugian itu. Kelemahan dari pasal-pasal tersebut yang menjadi dasar untuk menuntut pertanggungjawaban dari produsen karena konsumen tidak selalu mampu membuktikan letak kesalahan produsen produk yang menimbulkan kerugian dan selanjutnya harus membuktikan hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian konsumen.
Dalam hal ini konsumen tidak tahu menahu seluk beluk proses produksi mulai dari proses produksi sampai produk tersebut dipasarkan. Penetapan prinsip pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability) sebagai dasar pertanggungjawaban konsumen penggugat tidak diwajibkan lagi membuktikan kesalahan produsen karena dasar pertanggungjawaban bukan lagi kesalahan melainkan tergugat (pelaku usaha atau produsen) langsung bertanggungjawab sebagai resiko dari usahanya. Dilain pihak, tergugatlah yang harus membuktikan bahwa tidak bersalah melakukan produksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memegang prinsip kehati-hatian.

2. Penanganan Terhadap Kerugian Produk Makanan Dapat Dilakukan Dengan Pertanggungjawaban Dari Produsen Pangan.
Melihat dalam pengaturannya Pasal 41 ayat 1 Undang-undang Pangan bahwa produsen baik badan usahanya maupun perseorangan yang diberi tanggung jawab atas usaha itu adalah bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya. Pasal tersebut memberikan penegasan bahwa harus ada pihak yang bertanggungjawab (produk), jika ternyata menimbulkan kerugian pada konsumen pangan (produk). Dasar pertanggungjawaban tersebut dapat dilihat Pasal 41 ayat 3 dan ayat 4.
Secara eksplisit dalam ayat 4 menyebutkan unsur kesalahan atau kelalaian yang harus dibuktikan dan berkaitan dengan ganti rugi maka didasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dan dikategorikan perbuatan melawan hukum. Rumusan ketiga ayat dari Pasal 41 diatas memberikan petunjuk kepada semua orang bahwa yang dapat menuntut itu perseorangan yang telah mengkonsumsi pangan kemudian sakit atau ahli warisnya jika akhirnya meninggal dunia. Orang perseorangan dimaksud adalah setiap orang mengkonsumsi pangan tanpa mempersoalkan dari mana dan dengan cara bagaimana ia memperolehnya jadi tidak terbatas hanya konsumen pembeli (melalui perjanjian jual beli) tetapi mereka yang memperoleh pangan dengan cara apa pun (di luar perjanjian). Dalam Undang-undang pangan tersebut tidak mensyaratkan adanya hubungan kontraktual terlebih dahulu sebagai alasan hukum untuk menuntut kerugian.
Produsen mempunyai arti yang sangat luas dikatakan produsen itu adalah setiap pihak yang ikut serta dalam pengadaan dan peredaran hingga sampai ke tangan produsen dalam arti badan usaha yang membuat atau memproduksi pangan olahan (pabrik) saja dapat dituntut tetapi yang terlibat dalam peredarannya seperti distributor, grosir, pengecer mereka mempunyai andil dalam kemungkinan rusaknya makanan sehingga membahayakan bagi konsumen. Didalam Pasal 42 dimungkinkan menggugat pihak lain yaitu distributor, agen, pengecer dan atau importir.
Ketentuan ini berlaku bila badan usaha dan atau orang perseorangan yang bertanggungjawab adalah badan usaha sebagaimana yang dimaksud Pasal 41 yang tidak diketahui atau tidak berdomisili di Indonesia. Sehubungan dengan kelemahan-kelemahan diatas sebaiknya setiap pihak dapat dituntut untuk bertanggungjawab tidak hanya produsen pabrik saja sebagai pembuatnya tetapi juga pihak lain tanpa membedakan apakah produk tersebut diimpor atau tidak juga ikut andil dalam pertanggungjawaban kerugian konsumen.
Dengan pertanggungjawaban diatas maka 2 (dua) keuntungan bagi konsumen untuk melakukan pertanggungjawaban terkait dengan kerugian konsumen:
1. Memudahkan bagi konsumen sebagai penggugat untuk mengajukan gugatannya terhadap siapa dan dimana gugatan diajukan.
2. Diketahui secara pasti pihak-pihak yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya kerugian apakah pabrik, agen, distributor, pengedar atau sampai importir. Misalnya PT. Kraft Indonesia dapat menghentikan kerjasama PT. Nabisco Food (Suzhou) Co. Ltd., China karena merugikan pihak PT. Kraft Indonesia pembuat Oreo dalam negeri.
3. Penanganan Terhadap Kerugian Produk Makanan Dapat Dilakukan Dengan Pertanggungjawaban Atas Penerapan Sanksi Tindak Pidana Berkaitan Dengan Perlindungan Konsumen.
Sesuai dengan Pasal 62 Undang-undang Perlindungan Konsumen terhadap pelaku yang perbuatannya merugikan konsumen dapat diancam dengan penjara atau denda yang merupakan hukuman pidana pokok. Dapat pula dijatuhi pidana tambahan dalam bentuk:
1. Perampasan barang tertentu;
2. Pengumuman keputusan Hakim;
3. Pembayaran ganti rugi;
4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
6. Pencabutan izin usaha.

4. Penanganan Terhadap Kerugian Produk Makanan Dapat Dilakukan Dengan Pertanggungjawaban Dengan Progam Penerapan Pembinaan Dan Pengawasan.
Untuk memenuhi tujuan dari Undang-undang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan meliputi:
1. Pelaku usaha atau produsen;
2. Saranan dan prasaranan produksi;
3. Iklim usaha secara keseluruhan;
4. Konsumen.
Dengan pembinaan dan pengawasan ini diharapkan pemenuhan hak-hak konsumen terjamin dan sebaliknya kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai produsen dapat dipastikan. Pembinaan terhadap pelaku usaha (produsen) mengandung makna mendorong pelaku usaha supaya bertindak sesuai aturan yang berlaku baik aturan undang-undang, kebiasaan maupun kepatutan. Dengan demikian dalam memproduksi dan mengedarkan bertingkah laku sepantasnya dalam memproduksi dan mengedarkan produknya. Pembinaan terkandung unsur bantuan yaitu membantu sedapat mungkin memenuhi kewajiban melalui ketangguhan dalam berusaha sehingga tercipta iklim usaha yang sehat dan tumbuh hubungan yang sehat antara produsen dan konsumen. Pembinaan juga diarahkan untuk meningkatkan sumber daya konsumen sehingga memiliki kesadaran akan hak-hak konsumen dengan mengkonsumsi produk secara sehat dan rasional.
Pengawasan kepada pelaku usaha mengandung makna memastikan terpenuhinya atau terselenggaranya hak dan kewajiban para pihak. Produsen senantiasa diawasi supaya mereka sesuai dengan aturan berlaku sehingga dapat memenuhi kewajibannya dan untuk mempersempit kemungkinan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku atau disebut pengawasan preventif.
1. Proses pembinaan sesuai Pasal 29 Undang-undang perlindungan konsumen berdampak positif agar dimaksudkan untuk:
a Terciptanya iklim usaha yang sehat antara produsen dan konsumen.
Proses pembinaan diharapkan tumbuh dan berkembang untuk iklim usaha dan mempertinggi kesejahteraan masyarakat melalui efesiensi usaha maka konsumen tidak dibebani biaya (cost) yang tinggi memperoleh kebutuhannya, dan apabila iklim usaha yang sehat maka tercapai produk-produk yang berkualitas yang dapat mempertinggi tingkat kesehatan dan pencapaian kebutuhan masyarakat dan mempertinggi pertumbuhan dan perekonomian nasional.

b Lembaga Swadaya Masyarakat.
Lembaga ini berupa gerakan konsumen untuk mempertinggi kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya melalui kajian terhadap konsumen dan produsen dengan memberikan penyuluhan, pendidikan bagi konsumen akan mewujudkan hak-haknya sesuai dengan Pasal 30.



c Sumber Daya Manusia.
Melalui pembentukan lembaga konsumen swadaya masyarakat dapat melakuakan pembinaan yang balance artinya antara konsumen dan produsen mempunyai kesadaran yang sama demi terciptanya perlindungan konsumen dengan prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab dalam melaksanakan perlindungan konsumen sesuai dengan ketentuan berlaku.

d Penelitian dan Pengembangan.
Sebagai ketentuan teknis dalam menjalankan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen dengan koordinasi dengan menteri secara teknis seperti menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kesehatan, Menteri Lingkungan dan Menteri lainnya yang terkait dalam perlindungan konsumen.

2. Melakukan proses pengawasan sesuai dengan Pasal 30 ayat 1 dapat dilaksanakan oleh;
1. Pemerintah;
2. Masyarakat;
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Pengawasan tersebut dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan penelitian, pengujian atau pensurveian yang meliputi pemuatan, informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pembinaan Dan Pengawasan Khusus Mengenai Produk Pangan.
Sesuai dengan Pasal 53 Undang-undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yang berwenang melakukan pengawasan adalah pemerintah yang dilakukan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai POM) di masing-masing provinsi bagian dari Direktoral Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan yang melakukan pemeriksaan apabila diduga terjadinya pelanggaran dibidang pangan dengan melalukan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Memasuki tempat yang diduga digunakan untuk kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan.
2. Menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan.
3. Membuka dan meneliti setiap kemasan pangan.
4. Memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut.
5. Memerintahkan untuk memperlihatkan ijin usaha atau dokumen sejenisnya.

Sebagai tindak lanjut dari pengawasan diatas, pemerintah juga berwenang untuk mengambil tindakan administratif yang dapat berupa:
1. Memberikan secara tertulis
2. Melarang pengedaran produk pangan tersebut untuk sementara jika produk pangan diedarkan. Penghentian peredaran sementara atau penarikan produk ini dilakukan apabila terdapat resiko tercemarnya pangan atau tidak aman bagi kesehatan konsumen.
3. Memerintahkan pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa konsumen. Pemusnahan ini dapat dilakukan menurut cara-cara yang diatur dalam perundang-undangan.
4. Penghentian produk sementara waktu. Tindakan ini dapat diambil apabila terdapat dugaan kuat bahwa pangan yang akan diproduksi tidak memenuhi persyaratan kesehatan sehingga perlu dilengkapi sarana produksi yang memadai untuk dilakukan pengkajian yang mendalam mengenai proses produksi.
5. Mengenakan denda bagi pelanggaran ketentuan undang-undang di bidang pangan, paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).
6. Pencabutan ijin produksi atau ijin usaha. Tindakan ini dapat diambil apabila produk pangan yang dihasilkan benar-benar tidak memenuhi persyaratan keamanan dan kesehatan dan tidak dapat diperbaiki lagi.

Sanksi-sanksi administrasi diatas dapat dikenakan kepada pelaku yang melanggar ketentuan perundang-undangan pangan baik ketentuan pelanggaran diatas maupun akulmulasi dari beberapa pelanggaran bergantung dengan jenis pelanggarannya. Penerapan sanksi administrasi tidak menghalangi dilakukannya pengusutan aspek pidana yang terdapat didalamnya sehingga masih mungkin pelakunya dikenai hukuman pidana.
5. Penanganan Terhadap Kerugian Produk Makanan Dapat Dilakukan dengan Penyelesaian Sengketa Konsumen Sesuai dengan Undang-undang No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-undang membagi penyelesaian sengketa konsumen menjadi 2 (dua) bagian yaitu:
1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
a Penyelesaian sengketa secara damai oleh pihak sendiri;
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 42 ayat 2 tidak menutup kemungkinan dilakukan penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa yaitu pelaku usaha (produsen) dan konsumen sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Bahkan dalam penjelasan Pasal 45 ayat 2 dapat diketahui bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen menghendaki penyelesaian damai yang merupakan upaya hukum terlebih dahulu diusahakan sebelum para pihak memilih melalui BPSK atau badan peradilan.
b Penyelesian sengketa melalui lembaga yang berwenang yaitu pihak Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan menggunakan mekanisme konsiliasi, media atau arbitrase.
pemerintah membentuk suatu badan baru yaitu BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah.
a. Penyelesaian sengketa konsiliasi yaitu suatu proses penyelesaian sengketa diantaranya para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Konsiliator hanya melakukan tindakan mengatur tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari suatu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak disampaikan langsung kepada para pihak. Model ini hanya mengacu pada pola penyelesaian sengketa secara konsensus antar pihak, dimana pihak netral dapat berperan secara aktif (neutral act) maupun tidak.
b. Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi.
Mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah dimana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Mediator tersebut tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya.

2. Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi.
Upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat, atau para pihak tidak mau menempuh alternatif perdamaian maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketanya melalui pengadilan dengan cara:
1. Pengajuan gugatan secara perdata diselesaikan menurut aturan yang berlaku didalam hukum perdata dan dapat digunakan prosedur:
a Gugatan secara perdata konvesional;
b Gugatan perwakilan atau gugatan kelompok (Class Action);
c Gugatan atau hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Or-Nop (Legal standing);
d Gugatan oleh pemerintah dan atau instansi terkait.
2. Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana.
3. Penyelesaian sengketa melalui aturan yang berlaku sesuai aturan tata usaha negara dan melalui mekanisme hukum menguji materiil.


BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kondisi dan fenomena diatas berpotensi untuk menciptakan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen berada pada posisi yang lemah dan sering dijadikan sebagai objek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Dalam hal ini ada Undang-undang perlindungan konsumen sebenarnya mampu memproteksi dari segi pertanggungjawaban importir sebagai pembuat barang yang diimpor tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri tersebut dari impor maka yang bertanggungjawab adalah pihak importir (Pasal 21 UU No. 8 Tahun 1999) namun mekanisme penegakan hukum dari perlindungan konsumen belum maksimal baik pihak produsen baik peran serta pihak produsen, penyalur dan penjual kadang tidak mengindahkan ketentuan hukum perlindungan konsumen.
Produsen harus menjamin dan bertanggung jawab terhadap produk pangan yang dihasilkan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah mengatur hal ini antara lain Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 21 ayat 3 yang menyatakan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran dan dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan juga menekankan pentingnya menjamin keamanan pangan yang beredar yaitu pada pasal 36 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dan peraturannya dan pasal 38 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan bertanggung jawab atas keamanan, mutu dan gizi pangan. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pun menekankan tanggung jawab produsen sebagai pelaku usaha. Hal ini dijelaskan pada pasal 7 (d) yaitu kewajiban pelaku usaha yaitu menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.
Penanganan persoalan produk makanan dapat diterapkan berbagai aspek hukum yaitu:
a. Perdata: Prinsip pertanggungjawaban dianut dalam penuntutan ganti rugi atau pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 1367 KUH Perdata namun kelemahan dari pasal tersebut adalah proses pembuktian yang dibebankan pihak penggugat (konsumen) dari keterbatasan pengetahuan, biaya, dan waktu maka tidak akan menjadi efektif dalam proses penyelesaian perkaranya. Untuk lebih efektif maka dapat digunakan dengan pertanggungjawaban penetapan prinsip pertanggungjawaban multak (Strict Liability) sebagai dasar pertanggungjawaban konsumen penggugat tidak diwajibkan lagi membuktikan kesalahan produsen karena dasar pertanggungjawaban bukan lagi kesalahan melainkan tergugat (pelaku usaha atau produsen) langsung bertanggungjawab sebagai resiko dari usahanya.
b. Pidana: Sesuai dengan Pasal 62 Undang-undang Perlindungan Konsumen terhadap pelaku yang perbuatannya merugikan konsumen dapat diancam dengan penjara atau denda yang merupakan hukuman pidana pokok. Dapat pula dijatuhi pidana tambahan dalam bentuk Perampasan barang tertentu, Pengumuman keputusan Hakim, Pembayaran ganti rugi, Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, Kewajiban penarikan barang dari peredaran, Pencabutan izin usaha.
c. Administrasi: pemerintah juga berwenang untuk mengambil tindakan administratif yang dapat berupa: Teguran secara tertulis untuk Melarang pengedaran produk pangan tersebut untuk sementara, apabila diberlanjutkan maka dapat dilakukan pencabutan ijin usaha produsen.

B. Saran
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan dan diberikan saran atas penanganan masalah perlindungan konsumen, sebagai berikut:
1. Pelaksanaan mekanisme penegakan hukum yang tertuang dalam hak-hak konsumen yang universal secara luas harus diterapkan dengan kombinasi Undang-undang No, 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Kosumen, Undang-undang No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-undang No. No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah lainnya sebagai atauran teknis sebagai pola penanganan efektif dalam perlindungan konsumen.
2. Meimplementasi mekanisme sebagai upaya proses penegakan hukum dan perlindungan konsumen untuk memudahkan tanggung jawab produsen dalam memenuhi hak-hak konsumen dan perwujudan kewajiban konsumen dengan menggunakan konsep Strict Liability (tanggung jawab mutlak) dan Risk Liability (tanggung jawab resiko) pada produsen. Apabila tidak dimungkinkan penerapan tersebut dapat dilakukan dengan pola penyelesaian sengketa konsumen menjadi 2 (dua) bagian yaitu Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi.

Tidak ada komentar: